Halaman

Senin, 04 Juni 2012


Jakarta, Warta Otonomi
Direktur Executive Goverment Against Corruption & Discrimination (GACD) Andar M Situmorang, SH, ML, Selestinus A OLA, SH (Direktue GACD), dan Andrianus Parulian Sihite, SH (Wkl Direktur GACD) resmi menggugat TUN terhadap Presiden Republik Indonesia atas dikeluarkannya KTUN, Keputusan Presiden RI Nomor 22/G/Th. 2012 tanggal 15 Mei 2012.
GACD dalam melakukan gugatannya, menurut Andar bahwa obyek sengketa adalah terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tetap harus menjelaskan pemberian grasi kepada Ratu Mariyuana Schapelle Corby. Langkah ini untuk memupuskan kecurigaan semua pihak, ujar Andar.
Gugatan tersebut ditujukan agar keadilan tentang proses hukum di negara ini terpenuhi dengan sebenarnya.
Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang perubahan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang peradilan Tata Usaha Negara pasal 53 ayat 1.2, harus dengan alasan konkrit.
Menurut Andar, hukukm dinegara ini selalu menjungjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan, kewajaran dan norma hukum.
Penting diperhatikan, rasa keadilan di NKRI harus lebih diperhatikan, mengingat rasa keadilan di mata masyarakat tidak menjadi suatu kecurigaan yang berkepanjangan.
Sebelumnya Duta Besar Australia, David Angel, menyatakan, bahwa negaranya tidak  ikut campur dalam pemberian grasi (pengurangan hukuman) terhadap  terpidana narkotika Schapelle Corby oleh pemerintah  Indonesia. Hal itu disampaikan David Angel saat bertemu Wakil Ketua DPR  Priyo Budi Santoso.
“Pernyataan Pejabat Dubes Australia seolah ingin membantah adanya kepentingan  Australia atas pemberian grasi Corby dan karenanya tidak ada kepentingan besar dari Indonesia yang diluluskan oleh Australia,” kata Hikmahanto.
Menurut dia, hal tersebut dilakukan agar  tidak ada kesan Pemerintah Australia memiliki kesepakatan dengan  pemerintah Indonesia sebagaimana yang dijadikan argumentasi selama ini  oleh Menteri Hukum dan HAM.
Sikap pemerintah Australia, katanya, dapat dipahami, karena Australia seperti Indonesia merupakan negara peserta  Konvensi PBB 1988 terkait Larangan terhadap Perdagangan Narkotika yang menganggap perdagangan narkotika sebagai suatu kejahatan serius.
Oleh karenanya mereka memahami jika Corby tidak diberikan grasi. “Adapun  yang diperjuangkan sejak awal oleh pemerintah Australia sebenarnya bukan  grasi, melainkan kemungkinan Corby menjalani sisa masa hukuman di  Australia,” kata Hikmahanto.
Yang menjadi pertanyaan adalah alasan  Presiden begitu baik hati memberikan grasi kepada Corby.  Keputusan itu memberi kesan tidak konsistennya pemerintah terhadap kebijakannya  sendiri dalam memberantas narkoba. “Di sinilah Presiden perlu memberi  penjelasan secara terang benderang,” katanya.
Presiden, kata dia, harus  berempati kepada rakyatnya sendiri agar rasa keadilan mereka tidak  dicederai dengan pemberian grasi kepada Corby tanpa dasar dan kepentingan yang kuat. (mst/jh)